Monday 2 November 2015

PENGERTIAN DAN PRINSIP-PRINSIP HUBUNGAN KERJA



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Hubungan kerja merupakan faktor yang sangat dominan di dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, hubungan kerja harus secara terus menerus di tingkatkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara optimal.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu organisasi memiliki tujuan. Untuk mencapai tujuan itu, orang-orang atau bagian-bagian yang terkandung di dalam organisasi dan pihak-pihak yang terkait dengan pencapaian tujuan, harus melakukan hubungan kerja dengan sebaik-baiknya.
Pada kegiatan yang lebih luas dalam kompleks hubungan kerja ini semakin menjadi penting, mengingat dalam era globalisasi tidak satupun unit kerja atau organisasi yang dapat mencapai tujuan tanpa melakukan hubungan kerja dengan unit kerja yang lain. Didalam pemerintahan (Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen) atau Instansi pemerintah lainnya sebagai suatu organisasi juga mempunyai tujuan. Untuk mencapai tujuannya seluruh aparat dan bagian yang ada di dalamnya atau pihak-pihak lain yang terkait perlu mengadakan hubungan kerja. Bahkan lebih dari itu, semua bagian harus bergerak sebagai satu kesatuan yang terkoordinasi. Kegiatan hubungan kerja dalam organisasi merupakan bagian integral dan komprehensif dalam mencapai tujuan dari organisasi yang bersangkutan.
Aloysius Uwiyono memandang hubungan kerja dalam konteks hukum Indonesia adalah bahwa hubungan kerja berkaitan dengan hubungan kontraktual yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karenanya hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan. Hubungan hukum yang berdasarkan pada hubungan kontraktual sebenarnya telah dianut di Indonesia sejak berlakunya Burgelijk Wetboek (BW) atau yang lazim sekarang disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum perdata/hukum privat, dinyatakan bahwa siapapun yang memenuhi syarat berhak melakukan  perjanjian dengan pihak lain dan perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Dalam hukum perburuhan di Indonesia, harus dibedakan antara hubungan kerja dengan hubungan industrial. Beberapa negara baik yang termasuk di dalam sistem hukum Kontinental (Continental Law) maupun Common Law membedakan kedua bentuk hubungan ini. Judge Bartolome` Rios Salmeron mengatakan bahwa hubungan kerja (labour relationship) selalu didasarkan pada adanya perjanjian kerja (labour contract), Sedangkan Bruce E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun di Amerika Serikat, industrial relation telah ada sejak akhir tahun 1920an, ada 3 perdebatan yang terjadi dalam masalah perburuhan berkaitan dengan industrial relation, salah satunya adalah ketergantungan dan posisi tawar yang lemah dari pekerja maupun serikat pekerja pada peraturan pemerintah (government regulation in the form protective labor legislation). Di Jerman, sebagai bagian dari Civil Code, dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment Promotion Act, disebutkan bahwa batasan kontrak merupakan hal yang utama dalam labour relations. Argumen-argumen di atas jelas menekankan perbedaan hubungan kerja dengan hubungan industrial. Dalam hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum akan tetapi peran serta Negara (dalam hal ini Pemerintah) diatur di dalamnya. Sedangkan dalam konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu hubungan hukum privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena hubungan kerja di dasarkan pada kontrak kerja atau perjanjian kerja.
1.2.  Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hubungan kerja
2. Untuk mengetahui prinsip hubungan kerja


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hubungan Kerja
Hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. Di dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.
Pengertian perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam Pasal 1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah perintah, waktu tertentu dan adanya upah. Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsur work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau waktu tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata yaitu :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Arti kata sepakat  adalah   bahwa  kedua subyek   hukum yang mengadakan perjanjian harus setuju  mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Perjanjian tersebut dikehendai secara timbal balik.



2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Subyek hukum yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang harus sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya disebut cakap  menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata  dijelaskan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, mereka yang berada di bawah pengampuan, dan orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
3.      Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu adalah sesuatu yang diperjanjikan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Barang tersebut harus sudah ada atau sudah berada atau sudah ada atau berada di tangan si berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.
4.      Sebab yang halal
Sebab yang dimaksud dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebagai bagian dari perjanjian pada umunnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya  perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketentuan secara khusus yang mengatur tentang perjanjian kerja adalah dalam Pasal 52 Ayat (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaaan, yaitu :
1.      Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan keduia belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia sekata megenai hal-hal yang diperjanjikan
2.      Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
Kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya adalah pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1 Ayat 26) UU No. 13/2003. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwa dan mentalnya
3.      Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.      Obyek perjanjian harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsure perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Pembedaan mengenai jenis perjanjian kerja, yaitu berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu. Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal 57 Ayat 1 UU 13/2003 mensyaratkan bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu (Pasal 56 Ayat (2)UU 13/2003). Secara limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu  pekerjaan yang sekali selesai  atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.
Berbeda dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT),yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh  dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap. Masa berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada kewajiban pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan (2) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
2.2. Permasalahan Yuridis Di dalam Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Hubungan kerja pada masa sekarang ini secara umum disebut hubungan kerja yang fleksibel, dalam arti hubungan kerja yang terjadi dewasa ini tidak memberikan jaminan kepastian apakah seseorang dapat bekerja secara terus menerus dan hal-hal lain yang berkaitan dengan haknya. Fleksibelitas bisa menyangkut waktu melakukan pekerjaan yang tidak selalu terikat pada jam kerja yang ditentukan pemberi kerja, juga ditentukan oleh pekerja itu sendiri. Dalam praktik pada mulanya ditemukan ada 4 jenis hubungan kerja fleksibel, yaitu :
1.      Hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman atau peminjaman pekerja
2.      Hubungan kerja yang dilaksankan di rumah
3.      Hubungan kerja bebas
4.      Hubungan kerja berdasarkan panggilan
Pengertian atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalam UU No.13/2003, akan tetapi di dalam Pasal 64 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem outsourcing adalah hubungan kerja fleksibek yang berdasarkan pengiriman atau peminjaman pekerja (uitzenverhouding). Meskipun pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pengguna, akan tetapi undang-undang sebenarnya mengatur perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja dari perusahaan penyedia jasa sekurang-kurangnya sama dengan pekerja yang berstatus pekerja  di perusahaan pengguna (Pasal 65 Ayat (4) UU 13/2003).
Tidak adanya jaminan kepastian seseorang dapat bekerja secara terus menerus dalam hubungan kerja yang dilakukan secara outsourcing timbul karena hubungan kerja menyangkut tiga pihak yaitu perusahaan pengguna, perusahaan penyedia jasa dan pekerja. Dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja, perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna. Model kontrak outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus mengatur mengenai status pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konfllik hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan industrial yang dibawa hingga tingkat kasasi. Pada umumnya dalam beberapa kasus, Pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcing yang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan pengguna maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK seperti yang diatur dalam undang-undang karena pada dasarnya secara hukum hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja, bukan dengan perusahaan pengguna. Kalaupun di dalam ketentuan undang-undang diatur bahwa apabila ternyata pekerja outsourcing tidak dijamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa, kedudukannya beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna jasa, hal ini tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah.
Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang pengusaha sebagai salah satu jalan ke luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir secara keseluruhan, pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat dimasuki oleh pekerja outsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh UU 13/2003. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika pekerja outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna yang sama bertahun-tahun dengan sistem outsourcing.
Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi UU No. 13/2003 tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh perusahaan pengguna.
Beberapa kasus-kasus pemutusan hubungan kerja bagi pekerja yang bekerja berdasarkan sistem kontrak atau PKWT, sering tidak mendapat penyelesaian kompensasi PHK berdasarkan UU 13/2003. Pada banyak kasus, hampir semua kembali kepada Pasal 1247KUH Perdata yang mengatur ganti rugi bagi perusahaan yang wanprestasi atau tidak melaksanakan isi perjanjian kerja (dalam hal ini pengusaha memutus kontrak walaupun jangka waktu perjanjian kerja belum berakhir), sifat ganti rugi ini tergantung pula pada kebijakan masing-masing perusahaan. Hal ini menyebabkan kedudukan pekerja tersebut juga tidak mendapat kepastian hukum yang kuat.
2.3 Maksud dan Tujuan Hubungan Kerja
Maksud adalah suatu pernyataan untuk apa sesuatu harus dilakukan dan manfaat apa yang dapat ditarik dari suatu kegiatan. Sedangkan tujuan adalah hasil akhir dari suatu kegiatan yang mempunyai maksud tertentu.
a. Maksud Hubungan kerja di organisasi dimaksudkan agar organisasi dapat :
- Membangkitkan kesadaran pada setiap orang dan setiap manajer bahwa kedudukan, fungsi dan pekerjaannya berkaitan denga kedudukan, fungsi dan pekerjaan pihak lainnya sehingga merasa bahwa kedudukan, fungsi dan pekerjaannya tidak lepas dari yang lain.
- Memelihara dan mengembangkan saling pengertian di antara pejabat di dalam organisasi sehingga dapat menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya memerlukan bantuan pihak lain dan sebaliknya dirinya memerlukan bantuan pihak lain sehingga timbul semangat kerjasama dalam pelaksanaan tugas masing-masing.
- Memelihara dan mengembangkan semangat persatuan pada setiap orang karena tugas dirinya dan tugas pihak lain di dalam organisasi merupakan bagian-bagian dari tugas yang lebih besar sehingga setiap tugas berkaitan erat dan pelaksanaannya perlu saling mendukung.
- Menumbuhkan sikap para pelaksana untuk mematuhi peraturan yang mengatur hubungan kerja antar unit organisasi dan antar organisasi dalam suatu sistem baik pemerintahan maupun perusahaan.
b. Tujuan
Hubungan kerja di dalam organisasi mempunyai tujuan terciptanya kemudahan serta kelancaran pelaksanaan tugas pekerjaan setiap orang dan setiap unit karena adanya kesadaran bahwa setiap orang atau unit lain serta timbulnya semangat saling bantu. Hubungan kerja timbul dan sangat dibutuhkan sebagai konsekuensi adanya upaya untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien melalui pembagian tugas. Tugas-tugas ini diwadahan dalam unit-unit sebagai pelaksana dan penanggung jawab satu atau beberapa fungsi. Dengan demikian setiap unit mempunyai sasaran. Akan tetapi semua pihak dalam organisasi, terutama para pimpinan sangat berkepentingan agar semua unit beserta seluruh petugas dan kegiatannya termasuk sumber-sumber lainnya dapat berjalan terpadu, serasi dan selaras dalam mencapai tujuan dan sasaran bersama.
Dari uraian tersebut diatas, jelas bahwa tujuan hubungan kerja adalah terwujudnya keterpaduan, keserasian dan keselarasan kegiatan-kegiatan seluruh unit beserta komponen-komponen yang berkaitan dalam pencapaian sasaran dan tujuan organisasi.
Sebagai suatu cara agar dapat terwujudnya hubungan kerja antara kegiatan dari suatu satuan kerja yang satu dengan yang lainnya, sehingga terdapat suatu kesatuan gerak dan langkah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Lebih rinci dapat diuraikan bahwa hubungan kerja mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut :
- Terwujud keterpaduan dan meningkatkan kerjasama antara atasan dan bawahan, dan antar sesame anggota organisasi,
- Bersikap tanggap terhadap setiap informasi yang diterima dan menolak berbagai masalah yang dihadapi,
- Meningkatkan partisipasi dalam merumuskan kebijaksanaan dalam ruang lingkup tugasnya,
-    Menciptakan kondisi organisasi yang lebih baik,
- Meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktifitas kerja yang tinggi,
- Memperbaiki kekurangan dan memberikan perhatian kepada individu dan kelompok organisasi,
-    Mengintegrasikan tercapainya tujuan pribadi dan organisasi,
-    Memastikan adanya kesatuan gerak dalam organisasi,
- Saling berkomunikasi dan bantu membantu antar pejabat atau unit,
-    Menjamin kesatuan kebijaksanaan untuk hal-hal yang sama,
- Menghindarkan kecendrungan merasa “paling penting” dalam organisasi,
- Memelihara dan mengembangkan saling pengertian diantara para pelaksana, sehingga dapat menumbuhkan kerjasama dalam pelasanaan tugas masing-masing,
- Memelihara dan mengembangkan saling memenuhi, sehingga kontak atas dasar kebijaksanaan dan saling membantu antara pihak-pihak yang tugasnya saling berkaitan,
- Menumbuhkan sikap para pelaksana untuk mematuhi peraturan yang mengatur hubungan kerja antar instansi.
2.4 Prinsip Hubungan Kerja
Prinsip di dalam manajemen adalah suatu aturan umum yang harus diikuti bila hubungan kerja ingin mendapat hasil yang baik. Hubungan kerja bila ingin berhasil memerlukan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Spesialisasi tugas dan kerja yang jelas dari setiap orang dan unit sebagai bagian dari tugas dan kerja organisasi.
b. Pengenalan spesialisasi tugas oleh setiap pihak dalam organisasi sehingga masing-masing akan mengetahui dengan siapa dirinya harus melakukan hubungan untuk membantu atau minta bantuan.
c. Saling pengertian antara unit kerja sehingga adanya saling bantu.
d. Semangat kerjasama antar unit untuk mendorong kegiatan saling bantu.
e. Disiplin terhadap peraturan termasuk prosedur kerja sebagai arah untuk melakukan interaksi dalam saling bantu.
Untuk lebih memudahkan mengingat prinsip-prinsip ini maka jembatan keledai yang dapat diikuti adalah :
H indarkan sifat egoisme agar kondusif dalam melakukan hubungan,
U raian pekerjaan harus jelas secara tertulis sebagai pedoman hubungan,
B angkitkan semangat kerjasama antar orang dan antar unit kerja,
U    kuran tingkat kinerja individu maupun kelompok harus ditetapkan,
N    orma-norma kerja harus dipatuhi oleh semua pihak,
G unakan semua sumber sesuai standar pemanfaatannya agar efisien,
A ntisipasi semua hambatan yang mungkin timbul dalam hubungan,
N on kompromis dengan masalah yang menghambat hubungan kerja,
K inerja standar harus sesuai dengan kemampuan orang dan sumber,
E valuasi secara berkala pelaksanaan hubungan kerja antar pegawai,
R    otasi dapat dilakukan bila hubungan kerja selalu terganggu oleh ulah pegawai,
J elas tuntutan disiplin orang terhadap aturan formal organisasi,
A    tur spesialisasi dan uraian pekerjaan kedalam bentuk tertulis.




BAB 3
P E N U T U P

3.1  Kesimpulan
            Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah:
a)      Dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.
b)      Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsur work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau waktu tertentu, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
c)      Prinsip dalam hubungan kerja antara lain : (1) Spesialisasi tugas dan kerja yang jelas dari setiap orang dan unit sebagai bagian dari tugas dan kerja organisasi; (2) Pengenalan spesialisasi tugas oleh setiap pihak dalam organisasi sehingga masing-masing akan mengetahui dengan siapa dirinya harus melakukan hubungan untuk membantu atau minta bantuan; (3) Saling pengertian antara unit kerja sehingga adanya saling bantu;
(4) Semangat kerjasama antar unit untuk mendorong kegiatan saling bantu; (5) Disiplin terhadap peraturan termasuk prosedur kerja sebagai arah untuk melakukan interaksi dalam saling bantu.
3.2 Saran
       Perlu pemahaman tentang hubungan kerja bagi para pengusaha dan tenaga kerja, untuk mengindari adanya kerugian dan menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan baik untuk pihak pengusaha maupun tenaga kerja.




DAFTAR PUSTAKA

Opik. 2009. Hubungan Kerja di Lingkungan Pemerintah.
     Diakses pada tanggal 06 September 2014.

Suma’mur. 2008. Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Penerbit Nuansa Aulia. Bandung.

Yuriko, A. 2011. Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja. Artikel.
              Diakses pada tanggal 06 September 2014.

SILAHKAN DOWNLOAD UNTUK MENDAPAT POWERPOINTNYA  DISINI!!! 

sekedar ingin berbagi informasi...
bagi yg suka internetan , yg lagi cari2 kerja, boleh coba website ini dan langsung buat akun anda----> http://Job4Living.com/?ref=387669
lumayan kita dibayar tanpa ribet keluar biaya,dll. cuman tinggal sebar link aja gan,semakin banyak klik, makin cair. awal pendaftaran aja uda dapat $25. itu garansi yg NYATA gan
kiki emotikon
($25x Rp 10.000= 250.000 ribu)
minim Saldo $300 untuk bs diambil
ayo bktikan gan.

No comments:

Post a Comment