BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram positif yang
berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Gejala utama dari
penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman
ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis
berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut
sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran,
kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat
berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf.
Difteri merupakan salah satu penyakit
yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri corynebacterium diphtheria
yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,
Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier
atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Selain itu penularan juga terjadi melalui percikan ludah dari orang yang
membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda
atau makanan yang terkontaminasi. Difteri merupakan penyakit menular yang
sangat berbahaya pada anak-anak.
Penderita difteri umumnya anak-anak,
usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat berakibat fatal,
yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20,
difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit
ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh
karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam
menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan
penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis,
Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih
rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
1.2 Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa itu penyakit difteri.
2.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya difteri.
3.
Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang
terkena difteri.
4.
Untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri.
5.
Untuk mengetahui epidemiologi penyakit difteri.
6.
Untuk mengetahui penanganan (pengobatan dan pencegahan)
penyakit difteri.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Difteri
Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram positif yang
berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Gejala utama dari
penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman
ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis
berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut
sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran,
kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat
berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf. Difteri
merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit
ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium
diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan
laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar
oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita. Selain itu penularan juga terjadi melalui percikan ludah dari orang
yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui
benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri merupakan penyakit menular yang
sangat berbahaya pada anak-anak.
2.2
Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium
diphtheriae berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak
atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek
patoligik menyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium
diphtheriae ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage
lysis menjadi 19 tipe.
Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheriae ini
dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada
tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.
2.3 Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3
tingkat yaitu:
a.
Infeksi ringan; bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
b.
Infeksi sedang; bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c.
Infeksi berat; bila terjadi sumbatan nafas yang berat
disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi dimana gejala dirasakan, yaitu:
a.
Difteri hidung; bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah.
b.
Difteri faring dan tonsil; dengan gejala radang akut tenggorokan,
demam sampai dengan 38,5 oC, nadi yang cepat, tampak lemah,
nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga
akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut
sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c.
Difteri laring; dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam
sangat tinggi sampai 40 oC, sangat lemah, kulit tampak kebiruan,
pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat
karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d. Difteri
kutaneus dan vaginal; dengan
gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada
difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.
2.4 Tanda dan Gejala
a. Gejala Klinis
Gejala klinis secara
umum penyakit difteri ini adalah:
1.
Panas lebih dari 38oC
2.
Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3.
Sakit
waktu menelan
4.
Leher membengkak
seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher.
Tidak semua
gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu
menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika
pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas
rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.Gejala
diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar
getah bening di leher sering terjadi.
b.
Tanda dan Gejala Menurut Daerah Teserang
1. Difteri
Hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya
2%). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian sekret yang keluar tercampur
darah sedikit yang berasal dari psuudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat
pula mencapai faring dan laring.
2.
Difteri Faring dan Tonsil
Gejalanya seperti radang akut tenggorokan, demam sampai
dengan 38,5oC, nadi yang cepat, tampak lemah,
nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga
akan tampak membran berwarna putih keabu-abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang
mulut (faring).
3.
Difteri Laring
Gejalanya yaitu tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi,
demam sangat tinggi sampai 40 oC, sangat lemah, kulit tampak
kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri
paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
4.
Difteri Kutaneus dan Vaginal
Dengan
gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada
difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.
2.5 Patofisiologi
a. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau
mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas,
kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri
berkembangbiak pada atau sekitar permukaan selaput lender mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung
akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi
gangguan pernapasan.
Bakteri ini ditularkan melaui
percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, nakteri melepaskan
toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bias menyebabkan
kerusakan jaringan diseluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat
berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam, penderita bias
menularkan antara dua minggu atau kurang, bahkan kadangkala dapat lebih dari 4
minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan
penyakit sampai 6 bulan.
b. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya
menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada
minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ke-3 sampai minggu ke-6 bisa
terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggu pertama sampai minggu ke-6, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan
jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu.
Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
juga menyerang kulit.
c. Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan
ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri
dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran
ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan
secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan
menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
2.6 Epidemiologi
a.
Person
(Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan
usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita
difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Selama penularan pertama dari
abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak
muda. Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya didunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan
imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggak karena penyakit
tetanus dan setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.
b.
Place
(Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada
daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan
vaksin DPT (Dyphtheria, pertusis dan tetanus), penyakit difteri mulai jaramg
dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
c. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan
saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk kedalam tubuh dan tubuh
kita tidak mempunyai sistem kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan
berkembangbiak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
2.7 Pengobatan
Tujuan
pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah
penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien
diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat lebih
sering selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta
diet yang adekuat.
Khusus pada
difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin:
Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin
harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%.
Namun dengan penundaan
sampai atau lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian bisa
meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji
mata terlebih dahulu.
2.
Antibiotik
Antibiotik
diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri
dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin
prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan
pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
4. Pengobatan
Penyulit
Pengobatan
terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan
oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
5. Pengobatan
Kontak
Pada anak yang
kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana,
yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari
sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak
yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
6. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak
menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.
2.8 Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan
baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak
terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan
imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT
(difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c. Pencarian dan
kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila
hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka
harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan
tonsilektomi. Schick tes adalah tes kulit yang digunakan untuk
menentukan status imunitas penderita. tes ini tidak berguna untuk diagnosis
dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
a.
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria, oleh karena
itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
b.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2-5 hari, masa
penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan
carier bias sampai 6 bulan.
c.
Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu:
·
Isolasi penderita
·
Imunisasi, dengan imunisasi DPT pada bayi dan
vaksin DT pada anak usia sekolah dasar.
·
Pencegahan dan kemudian mengobati karier
difteria.
d.
Pengobatan difteri mencakup: pengobatan umum,
pengobatan khusus, pengobatan penyulit dan pengobatan carier.
3.2 Saran
·
Karena penyakit difteri berbahaya dan sering
menyerang anak-anak, maka sebaiknya para ibu memberikan imunisasi DPT pada saat
anaknya bayi dan vaksin DT saat usia sekolah.
·
Kebersihan diri juga menentukan tingkat risiko
terkena difteri, jadi jagalah kebersihan diri.
DAFTAR PUSTAKA
Bilotta, Kimberly. 2012. Kapita Selekta Penyakit: Dengan Implikasi
Keperawatan Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Who.2010. Difteria. 19 Oktober 2013. www.who.com
untuk lebih memahami silahkan Download materi Imunisasi (powerpoint) disini ^_^
sekedar ingin berbagi informasi...
bagi yg suka internetan , yg lagi cari2 kerja, boleh coba website ini dan langsung buat akun anda----> http://Job4Living.com/?ref=387669
lumayan kita dibayar tanpa ribet keluar biaya,dll. cuman tinggal sebar link aja gan,semakin banyak klik, makin cair. awal pendaftaran aja uda dapat $25. itu garansi yg NYATA gan
kiki emotikon
($25x Rp 10.000= 250.000 ribu)
minim Saldo $300 untuk bs diambil
ayo bktikan gan.
untuk lebih memahami silahkan Download materi Imunisasi (powerpoint) disini ^_^
sekedar ingin berbagi informasi...
bagi yg suka internetan , yg lagi cari2 kerja, boleh coba website ini dan langsung buat akun anda----> http://Job4Living.com/?ref=387669
lumayan kita dibayar tanpa ribet keluar biaya,dll. cuman tinggal sebar link aja gan,semakin banyak klik, makin cair. awal pendaftaran aja uda dapat $25. itu garansi yg NYATA gan
kiki emotikon
($25x Rp 10.000= 250.000 ribu)
minim Saldo $300 untuk bs diambil
ayo bktikan gan.
No comments:
Post a Comment