Monday 2 November 2015

MAKALAH TENTANG IMUNISASI DIFTERI






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran, kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf.
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Selain itu penularan juga terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak-anak.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
1.2    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu penyakit difteri.
2.      Untuk mengetahui penyebab terjadinya difteri.
3.      Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena difteri.
4.      Untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri.
5.      Untuk mengetahui epidemiologi penyakit difteri.
6.      Untuk mengetahui penanganan (pengobatan dan pencegahan) penyakit difteri.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Difteri
Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran, kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf. Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Selain itu penularan juga terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak-anak.
2.2 Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik menyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.
Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.
2.3 Klasifikasi
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a.       Infeksi ringan; bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
b.      Infeksi sedang; bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c.       Infeksi berat; bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi dimana gejala dirasakan, yaitu:
a.       Difteri hidung; bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah.
b.      Difteri faring dan tonsil; dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 oC, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
c.       Difteri laring; dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 oC, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d.      Difteri kutaneus dan vaginal; dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.
2.4 Tanda dan Gejala
a.    Gejala Klinis
Gejala klinis secara umum penyakit difteri ini adalah:
1.              Panas lebih dari 38oC
2.              Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3.              Sakit  waktu  menelan
4.      Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak  jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi.
b.    Tanda dan Gejala Menurut Daerah Teserang
1.      Difteri Hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%). Mula-mula hanya tampak pilek, tetapi kemudian sekret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari psuudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring dan laring.
2.      Difteri Faring dan Tonsil
Gejalanya seperti radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5oC, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu-abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
3.      Difteri Laring
Gejalanya yaitu tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 oC, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.


4.      Difteri Kutaneus dan Vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa-apa.
2.5 Patofisiologi
a.    Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau sekitar permukaan selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernapasan.
Bakteri ini ditularkan melaui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, nakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bias menyebabkan kerusakan jaringan diseluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam, penderita bias menularkan antara dua minggu atau kurang, bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.

b.    Tahap  Penyakit  Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ke-3 sampai minggu ke-6 bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu ke-6, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
c.    Tahap  Penyakit  lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
2.6  Epidemiologi
a.       Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Selama penularan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya didunia ini terdapat 1,5 juta kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggak karena penyakit tetanus dan setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.
b.      Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, pertusis dan tetanus), penyakit difteri mulai jaramg dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
c.       Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk kedalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai sistem kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembangbiak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.

2.7  Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
a.    Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat lebih sering selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b.    Pengobatan Khusus
1.      Antitoksin: Anti Diptheriar Serum (ADS) 
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan sampai atau lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. 
2.      Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3.      Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
4.      Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
5.      Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
6.      Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
2.8  Pencegahan
a.     Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b.    Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c.    Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi. Schick tes adalah tes kulit yang digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
a.       Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
b.      Masa inkubasi penyakit difteri ini 2-5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bias sampai 6 bulan.
c.       Pencegahan difteri dilakukan dengan cara, yaitu:
·         Isolasi penderita
·         Imunisasi, dengan imunisasi DPT pada bayi dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar.
·         Pencegahan dan kemudian mengobati karier difteria.
d.      Pengobatan difteri mencakup: pengobatan umum, pengobatan khusus, pengobatan penyulit dan pengobatan carier.
3.2  Saran
·         Karena penyakit difteri berbahaya dan sering menyerang anak-anak, maka sebaiknya para ibu memberikan imunisasi DPT pada saat anaknya bayi dan vaksin DT saat usia sekolah.
·         Kebersihan diri juga menentukan tingkat risiko terkena difteri, jadi jagalah kebersihan diri.

DAFTAR PUSTAKA
Bilotta, Kimberly. 2012. Kapita Selekta Penyakit: Dengan Implikasi Keperawatan Edisi 2. Jakarta: EGC.
Who.2010. Difteria. 19 Oktober 2013. www.who.com

untuk lebih memahami silahkan Download  materi Imunisasi (powerpoint) disini ^_^

sekedar ingin berbagi informasi...
bagi yg suka internetan , yg lagi cari2 kerja, boleh coba website ini dan langsung buat akun anda----> http://Job4Living.com/?ref=387669
lumayan kita dibayar tanpa ribet keluar biaya,dll. cuman tinggal sebar link aja gan,semakin banyak klik, makin cair. awal pendaftaran aja uda dapat $25. itu garansi yg NYATA gan
kiki emotikon
($25x Rp 10.000= 250.000 ribu)
minim Saldo $300 untuk bs diambil
ayo bktikan gan.
 

No comments:

Post a Comment