Kerawanan Pangan Di Wilayah Provinsi
Lampung
Ketahanan pangan merupakan salah satu masalah strategis yang
hukumnya wajib diperhatikan penguasa, terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan
masyarakat. Ketahanan pangan juga menjadi bagian dari kekuatan negara untuk
menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing. Bukan hanya itu, Pangan kini
menjadi alat politik bangsa-bangsa Barat guna mempengaruhi situasi politik
suatu negara. Karena itu, ketahanan pangan yang tangguh harus didukung dengan
kekuatan politik suatu bangsa. Pemerintah harus mempunyai sistem politik
pertanian yang juga didukung dengan teknologi peningkatan produksi.
Harga BBM, gas dan Tarif Dasar Listrik (TDL) kini melambung
tinggi dan kebutuhan pokok terus merangkak naik hingga masyarakat bawah makin
terjepit hidupnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung dan
pedagang pasar selama 2012 – 2013, perkembangan harga makanan dan kebutuhan
pokok lainnya terus bergerak naik. Beras naik sebesar 70 persen, kedelai
meroket dari Rp6.150 menjadi Rp 9.350 (51,2 persen), jagung melonjak dari
Rp1.100 menjadi Rp2.300, tepung terigu meningkat 83,14 persen, dan minyak
goreng meningkat 83 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi menurut Gubernur
Lampung Sjahroedin ZP dibanggakan akan menaik. Padahal, pertumbuhan tidak
menjamin terdistribusinya kesejahteraan.
Sebagai daerah agraris, lonjakan harga kedelai, minyak
goreng, dan lain-lain, seharusnya tak perlu terjadi. Namun apa daya, kini
Lampung mengimpor komoditas tersebut. Bahkan tidak hanya kedelai, sebagian
besar hasil pertanian juga diimpor dari negara lain seperti beras, gula, daging
ayam, daging sapi, bahkan garam. Data yang terungkap dari Badan Ketahanan
Pangan Provinsi Lampung menyebutkan bahwa produksi bahan pangan pokok tersebut
tidak mampu menutupi kebutuhan masyarakat. Tahun ini, beras masih mengimpor
sekitar 1 juta ton, impor gula setiap tahun sekitar 400-500 ribu ton, dan impor
daging sekitar 450-500 ribu ekor sapi.
Mengapa kebutuhan pangan tidak sanggup dipenuhi sendiri? Ada
berbagai faktor yang menyebabkannya, diataranya adalah :
1. Produktivitas tanaman pangan yang
masih rendah dan terus menurun. Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton
per/ha, jagung 3,2 ton/ha, dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibandingkan dengan
negara produsen pangan lain di dunia, khususnya beras, produktivitas padi di
Lampung masih jauh dari harapan. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5
ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha, dan Tiongkok 6,35 ton/ha (Hutapea dan Mashar).
2. Keberpihakan pemerintah daerah
Lampung terhadap pertanian yang menyediakan kebutuhan pangan sering kalah oleh
industri atau pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk
membiayai impor. Sebagai contoh, Lampung merupakan salah satu produsen CPO
(crude palm oil) terbesar di dunia dengan produksi sekitar 43,82 persen dari
total produksi dunia dan sebanyak 76,39 persen diekspor. Akibatnya, kebutuhan
dalam negeri berkurang atau tidak terpenuhi dan akhirnya langka.
Ujung-ujungnya, harga minyak goreng pun melonjak naik seperti saat ini. Hal ini
menunjukkan kebijakan pemerintah mengutamakan market friendly daripada
people friendly dan tidak memiliki kemandirian kecuali ketergantungan kepada
pasar dan asing.
3. Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga
bantuan internasional lainnya terus mendesak negara-negara berkembang untuk
meningkatkan ekspornya demi kelancaran pembayaran bunga dan cicilan utangnya.
Sejak International Moneter Fund (IMF) memangkas fungsi BULOG, perusahaan pelat
merah itu hanya menangani komoditas beras. Sedangkan komoditas pangan pokok lainnya
diserahkan mekanisme pasar. Buntutnya, ketika harga komoditas pangan seperti
gula, minyak goreng, kedelai, dan kebutuhan pokok lainnya bergerak liar,
pemerintah selalu keteteran menahan laju kenaikan harga.
4. Peningkatan luas areal
penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun, khususnya di lahan pertanian
pangan produktif di Pulau Sumatera, Khususnya Lampung. Untuk kasus kedelai,
luas panen sejak 2012 sampai 2013 terus menurun. Pada 2012 memiliki luas panen
sebesar 621.541 hektare menjadi 464.427 hektare pada 2013. Alih fungsi lahan
pertanian tak bisa dikendalikan. Sejak 2012 sampai 2013 saja, luas lahan
pertanian menyusut dari 8.400.030 hektare menjadi 7.696.161 hektare.
Untuk mengatasi kasus kerawanan pangan tersebut, kita dapat
melakukan beberapa upaya, diantaranya adalah :
1. Intensifikasi pertanian
Pemerintah
dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi
budi daya terbaru di kalangan para petani, membantu pengadaan mesin-mesin
pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. pilihan
atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan
iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan
begitu, ketergantungan terhadap pihak asing dalam pengelolaan pertanian negara
dapat dihindarkan. Sebagai contoh, seandainya saja pemerintah mau melirik benih
kedelai ’’plus”, hasil temuan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Lampung sejak
tahun 2012-2013 yang mampu berproduksi dua kali lipat. Jika rata-rata produksi
kedelai per hektare adalah 1,2 ton per hektare, maka kedelai plus mampu
berproduksi 2,6 ton per hektare. Tentu permasalahan kekurangan pasokan kedelai
akan terselesaikan secara mandiri. Kemudian masalah pupuk, pemerintah tidak
boleh mengambil kebijakan untuk mengekspor pupuk sebelum kebutuhan pupuk dalam
negeri terpenuhi dengan baik dan tidak terjadi kelangkaan pupuk di setiap
daerah.
2. Ekstensifikasi pertanian
Hal
ini dapat dilakukan dengan cara mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta
menghidupkan tanah mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan
lebak, lahan pasang-surut, dan sebagainya sesuai dengan peraturan negara. Tanah
mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang dan tidak tampak
bekas-bekas apa pun seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lainnya.
Menghidupkan tanah mati itu artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah
tersebut menjadi siap untuk langsung ditanami. Daerah Lampung, kini jumlah
lahan kering sebesar 11 juta hektare, yang sebagian besar berupa lahan tidur.
Jenis lahan lain yang masih potensial adalah pemanfaatan lahan lebak dan
pasang-surut. Luas lahan pasang-surut dan lebak di Lampung diperkirakan
mencapai 20,19 juta hektare dan 9,5 juta hektare berpotensi untuk pertanian.
Lahan-lahan yang baru dibuka biasanya menghadapi berbagai kendala untuk menjadi
lahan pertanian, seperti keragaman sifat fisiko-kimia dan biofisik. Oleh karena
itu, diperlukan upaya yang serius oleh pemerintah untuk mengoptimalkannya
dengan mencari dan menerapkan teknologi budi daya.
No comments:
Post a Comment